Rabu, 27 Juni 2012

Aku si Anak Berbeda


             
Hidupku penuh dengan pertanyaan, penuh dengan penyimpanan asa dari beribu pengharapan tak berguna, kini. Aku merasakan itu semua melebihi pekanya lidahku men-cap rasa asin yang pernah masuk ke mulutku. Aku hidup mungkin hanyalah untuk mempertajam setiap garis pada lukisan usang, benar-benar tak berarti.
"Hei anak tengil!Lihatlah, menawan sekali bajumu!"
seruan itulah yang biasa aku dengar, acap kali aku melintasi para petinggi di negeriku. Mereka memujiku? Tapi mengapa pujian itu begitu memekakan telinga? Sangat pahit!. Pantas saja, apakah mereka senang dengan bajuku? Baju kebangsaanku? Yang bahkan tidak pernah aku ganti setiap harinya, begitu warna-warni dengan percakan kain yang tidak berbentuk untuk menyempurnakan kembali bajuku. Ah.. Mungkin mereka ingin mencoba baju kebangsaanku.
Hei tapi tunggu tuan-tuan! Berbaggalah kalian dengan keberadaanku! Jika aku tak disini dengan segala yang kualami kini, apa jadinya perekonomian negeri ini? Butuh penyeimbang untuk tetap berputar. Harus ada yang diterlantarkan jika sudah ada yang dinomor satukan, ya begitulah dunia.
Hei tuan, beranjak kemanakah kau?
Apakah kau ingin mengoyak teman-temanku,hingga memuntahkan habis seluruh isi perutnya? Jangan lagi! Ya mereka temanku! Ketika malam tiba aku terjaga dengan tubuh yang menindih si tanah, tapi dia tidak marah karena aku tak mengusik tidur panjang nya.
Ketika menjelang pagi, aku menjamah si sungai untuk kesekian kalinya. Aku heran dengan si sungai, dia tak perna membersihkan tubuhnya lagi yang penuh dengan semacam lumpur. Dia cerita banyak kepadaku, tentang mesin raksasa pengubah dirinya hingga dia tak berkutik untuk membersihkan tubuhnya lagi. Si sungai sangat menyukaiku karena aku tak begitu tahu teknologi besar dengan keturunan mesin raksasa yang mengubah diri si sungai. Ya.. Kuakui otakku tumpul, wajar saja karena aku tak pernah sekalipun memakai seragam seperti anak para tuan dalam sebuah kelas. Bukannya aku menolak, tapi aku takut si sungai tidak menyukaiku lagi.
Temanku yag satu ini tak pernah menunjukkan wujud aslinya, mungkin sampai kapanpun aku tak akan pernah bisa melihat perwujudan asli dari dirinya. Aku hanya bisa merasakan kehadirannya setiap kali dia datang ke istana kertasku dengan menjelma menjadi hawa dingin yang siap menusukku. Ya tebakkanmu benar, dialah si udara. Si udara selalu meminta maaf kepadaku, ketika kerap kali aku terbangun dai tidur sederhanaku karena kedatangannya. Tenang saja teman, aku terlalu mengerti ini! Kau hanya ingin menjengukku, bukankah begitu teman?
Ah.. Jika saja aku memiliki selimut yang lebih hangat daripada selimut kertasku sekarang, mungkin aku akan lebih baik. Eh tapi tunggu, teman aku baru menyadarinya! Aku tak mau memiliki selimut hagat  itu! Jika aku memiliki selimut itu, aku akan tertidur pulas dan aku tidak akan merasakan kehadiran si udara yang datang ke istanaku hingga aku tak akan bertemu dengannya yang sengaja menemaniku setiap malamnya. Biarlah aku memiliki si tanah, si sungai, juga si udara sebagai temanku.
Tuan, maafkan aku jika aku bicara utak-atik kehidupanku terlalu banyak. Aku ini masih anak kecil,tuan. Bukankah kau harus memahaminya?
Tuan, aku beritahu ya rahasia tentang temanku! Teman-temanku tidak terlalu suka dengan teknologi besar juga mesin-mesin raksasa itu. Teman-temanku juga bilang tidak terlalu suka orang pintar, yang satu ini aku juga heran mengapa teman-temanku membencinya hanya saja yag aku tau dari mereka, mereka tidak suka seseorang yag mengubah diri mereka. Ya aku bingung, tidak mengerti! Mungkin tuan lebih mengerti semuanya, dengan pangkat disana-sini mustahil tuan tidak mengerti satupun.
Oh iya tuan, tunggu dulu! Aku disuruh menyampaikan pesan ini oleh teman-temanku jika suatu saat aku bertemu dengan tuan. Kata mereka, tuan harus ingat suatu saat nanti teknologi besar juga mesin raksasa itu akan menjadi boemerang yang bisa kapan saja berbalik arah menghantam tuan. Dan juga kata teman-temanku, tuan harus hati-hati mungkin saja para temanku itu bisa marah dan bisa kapan saja menjadi bom waktu yang siap meledak.
Tuan.. Aku kadang kala berpikir, semampuku apakah aku masih bisa memiliki impian yang biasa anak-anak selayaknya impikan? Tentang mainan, cita-cita kelak, juga bayak hal lainnya. Sayang, mungkin aku tak akan pernah bisa mempunyai impian setinggi itu! Impianku sudah terkantung permanen dilangit sana, namun impianku sangat-sangatlah sederhana. Aku hanya ingin tidur nyenyak, tidak berpusing-pusing memikirkan makan, dan  istana kertasku tetap kokoh.
Ya.. Aku yakin kau akan mengataiku payah dengan semua impianku yang terdengar bodoh. Tapi biarlah, bukankah kita harus menggantungkan impian kita setinggi langit?
Tak ada yang protes kan jika aku mempunyai impian se-simple dan sesederhana itu? Itu impianku! Mana boleh kau mencekalnya! Mana mungkin aku bisa mengubah dunia dengan impianku, mengubah diri sendiri saja aku tidak bisa. Kau benar aku payah, ya.. Aku si otak tumpul yag payah!